Bendera Ar-Rayah warna Hitam, Bendera Al-Liwa warna Putih
Kisah dari sahabat muslim semogah berkah dan bertambah amalnya : "suatu saat kami duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh Dr. Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya Syaikh, berbagai telah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa ‘Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?”
Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya”, ujarnya
lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya ini sesiapa yang
dipilihNya di antara hambaNya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu
Dia muliakan mereka dengan agama & kejayaan itu.”
1. 1. “Pada kurun awal”, lanjut beliau,
“Allah memilih Bangsa ‘Arab.
Dipimpin RasuluLlah, Khulafaur Rasyidin, & beberapa penguasa Daulah
‘Umawiyah, agama ini jaya. Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta para
punggawanya menyimpang, Allahpun mencabut amanah penjayaan itu dari mereka.”
Bani Umayyah diambil dari nama
Umayyah, kakeknya Abu Sofyan bin Harb, atau moyangnya Muawiyah bin Abi Sofyan.
Umayyah hidup pada masa sebelum Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Bani
Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pusat pemerintahannya di
Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun (41 – 132 H / 661 – 750 M).
2. 2. “Di masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan mereka datang menyokong
Daulah ‘Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah ini, dari Perdana Menterinya,
keluarga Al Baramikah, hingga panglima, bahkan banyak ‘Ulama &
Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan orang Persia.”
Kekuasaan
dinasti Banî ‘Abbâs atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti
ini adalah keturunan Al-‘Abbâs, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abû al-‘Abbâs ‘Abdullâh ash-Shaffâh ibn Muhammad
ibn ‘Alî ibn ‘Abdullâh ibn al-‘Abbâs[1]. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang
panjang, yakni dari tahun 132 H. (750 M.) sampai dengan 656 H. (1258 M.).
Selama kekuasaan Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Sebelum
lebih jauh membahas tentang periodeisasi pemerintahan Abbasiyah, terlebih
dahulu perlu dicatat bahwa salah satu faktor terjadinya revolusi pemerintahan
Abbasiyah, yakni banyaknya kelompok (di antaranya Syiah, Khawarij, dan Mawâlî[2]), umat yang sudah tidak lagi mendukung kekuasaan imperium
Bani Umayyah yang korup, sekuler dan memihak sebagian kelompok.[3]
Adalah Abû al-‘Abbâs Ash-Shaffâh[4], pelopor-penggerak revolusi Abbasiyah dengan menggunakan ideologi keagamaan untuk meruntuhkan legitimasi kekuasaan Bani Umayyah. Bentuk propaganda tersebut berisi tentang pujian dan pembelaan Abbasiyah terhadap agama Islam, tentang ketakwaan, dan keutamaan keluarga dikarenakan memiliki kekerabatan yang dekat dengan Nabi Muhammad.[5] Menurut Hasan Ahmad, propaganda ini berisi tiga hal penting, yaitu “al-musâwah” (persamaan antarbangsa), al-imâmah li al-ridlâ min âl Muhammad (menjadikan pemimpin yang sah dari kerabat dekat Nabi), al-da‘wah ilâ al-ishlâh (mengajak untuk berdamai).[6]
Adalah Abû al-‘Abbâs Ash-Shaffâh[4], pelopor-penggerak revolusi Abbasiyah dengan menggunakan ideologi keagamaan untuk meruntuhkan legitimasi kekuasaan Bani Umayyah. Bentuk propaganda tersebut berisi tentang pujian dan pembelaan Abbasiyah terhadap agama Islam, tentang ketakwaan, dan keutamaan keluarga dikarenakan memiliki kekerabatan yang dekat dengan Nabi Muhammad.[5] Menurut Hasan Ahmad, propaganda ini berisi tiga hal penting, yaitu “al-musâwah” (persamaan antarbangsa), al-imâmah li al-ridlâ min âl Muhammad (menjadikan pemimpin yang sah dari kerabat dekat Nabi), al-da‘wah ilâ al-ishlâh (mengajak untuk berdamai).[6]
3. 3. “Lalu ketika Bangsa Persia berpaling
& menyimpang, Allah cabut amanah itu dari mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya Shalahuddin
Al Ayyubi dan anak-anaknya.”
SULTAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI,
namanya telah terpatri di hati sanubari Kaum Muslimin yang memiliki jiwa
patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat
Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan Tentara Salib yang
merupakan gabungan pilihan dari seluruh Benua Eropa. Maka sudah sepantasnya
kita membicarakan tentang beliau dalam satu bab tersendiri. Sebab, apabila
disebutkan tentang Perang Salib, maka nama beliau tidak akan terlupakan sebagai
pahlawan perang dari pihak Islam yang paling berjasa.
Salahuddin Yusuf bin
Najmuddin Ayyub atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: الأيوبيصلاح الدين, Kurdi: صلاح
الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) atau Saladin (biasa disebut oleh
orang Barat) (1137 – 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang Muslim
Kurdi dari Tikrit (daerah Utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasty Ayyubiyah
di Mesir yang wilayah kekuasaannya meliputi Suriah, sebagian Yaman, Irak, Hijaz
dan Diyar Bakr.
Salahuddin terkenal di dunia
Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang
kesatria, bijaksana dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu
dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar ini.
Rasa tanggung jawab terhadap agama Islam telah ia baktikan dan buktikan dalam
menghadapi serbuan Tentara Salib ke Tanah Suci Palestina selama dua puluh
tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul
mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard The Lionheart dari Inggris.
Disamping sebagai panglima perang, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga adalah
seorang ulama, beliau banyak memberikan catatan kaki dan berbagai macam
penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal
dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah
(migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah
Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M
yaitu sekitar hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis,
ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun
pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Atabek (gubernur) Kerajaan Saljuk
untuk kota Mousul, Irak. Pendidikan dari ayah dan pamannya ini telah memberi
andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin.
Ketika Imaduddin Zanky
berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub
(ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat
Penguasa Syiria (Suriah) Nuruddin Mahmud (Nuruddin Zanky). Selama di Balbek
inilah Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang,
strategi, maupun politik. Setelah Damaskus dikuasai Nuruddin Zanky, beliau
melanjutkan pendidikannya di sana untuk mempelajari agama Islam Sunni selama
sepuluh tahun.
Dari usia belasan tahun
Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Salib
atau menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud.
Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pada tahun 549 H/1154 M
maka keduanya ayah dan anak ini telah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada
pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di
Mesir bersama-sama pamannya, Asaduddin Syirkuh melawan Tentara Salib, beliau
dan pamannya berhasil mengusir mereka dari Mesir pada tahun 559-564 H/
1164-1168 M.
Mencapai Kekuasaan
Paman Shalahuddin, Asaduddin
Syirkuh adalah seorang jenderal yang gagah berani, beliau merupakan komandan
Angkatan Perang Syiria yang telah memukul mundur Tentara Salib baik di Syiria
maupun di Mesir. Syirkuh memasuki Mesir pada bulan Februari 1167 M dan
menghadapi perlawanan Shawar, seorang Wazir (Perdana Menteri) Khalifah
Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan Tentara Salib Perancis dari Kerajaan
Yerussalem. Hal ini terjadi karena Shawar merasa cemburu terhadap Syirkuh yang
semakin populer dikalangan istana maupun masyarakat.
Dengan diam-diam Shawar pergi
ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari Pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh
berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric I Raja Yerussalem
menerima baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan
Asaduddin dengan King Almeric I yang berakhir dengan kekalahan Asaduddin.
Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan
Shalahuddin dibenarkan kembali ke Damaskus.
Kerjasama Shawar dengan orang
kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Mahmud dan para pemimpin
Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentara yang besar yang
tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum
si pengkhianat Shawar. King Almeric I terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk
melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi
Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih tepat dan berhasil membinasakan
pasukan King Almeric I dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan aib sekali.
Panglima Syirkuh dan
Shalahuddin terus maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tantangan dari pasukan
Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja,
dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Wazir Besar Shawar lari dan
bersembunyi di sebuah pekuburan. Ia berhasil ditemukan oleh Shalahuddin,
kemudian ia ditangkap dan dibawa ke istana serta dihukum mati.
Serbuan Syirkuh yang gagah
berani serta kemenangan akhir yang direbutnya atas gabungan Tentara Salib
Perancis dari Yerussalem dan tentara Mesir itu memperlihatkan kehebatan
strategi tentara yang bernilai ringgi.
Ibnu Aziz al-Athir menulis tentang serbuan panglima Syirkuh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M
Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima
Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu
segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap institusi kerajaan secara
berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi
diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang
Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk
bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tidak ditakdirkan untuk
lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah
pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh,
keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1169 diangkat menjadi Perdana
Menteri Mesir (Wazir) dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan
Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah,
Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak
begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang
pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula
Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin
Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang bersekutu dengan
Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yang
optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam beberapa tahun
terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yang
terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari
pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah
Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid. Namun
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I
dan pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan
Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan
mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al-‘Adhid,
Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah
meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan
Dinasty Fatimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi’iyah
itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi
bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada
dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada
khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari
Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir Shalahuddin merevitalisasi
perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat
ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, pemimpinnya yang
resmi.
Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun.
Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di
seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar
Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada
golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam,
terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir
Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih
kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan
kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan
itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar
yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat
pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I
meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yang
baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit lepra. Walaupun
demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan efektif. Di tahun
yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yang
termasyhur itu juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berumur 11
tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ini diperalat
oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang wali yang bernama
Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara
putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah.
Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa
baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan
melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jum’at dan
mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan
dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi.
Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia
mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan.
Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya Shalahuddin
menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan
kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Saljuk serta menyatakan diri sebagai sultan
untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan
militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yang lebih kecil,
lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yang tidak
menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis
dar Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini dapat ditahan oleh
Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas
nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan
meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin
IV.
Tentara Salib dengan segera
menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk meninggalkan kota itu
setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan
amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus dengan sebuah
pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki
Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan
bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan
tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk
memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama
raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182
Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria
dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai
sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat
menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz
ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh
Laskar Salib dari Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang
singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan
tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara Kristen yang menduduki Baitul
Maqdis berpuluh tahun.
Merebut Kota Yerussalem
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yang diduduki Pasukan Salib Templar dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa
orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ini akan menjadi
alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat
persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum
Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi
isyarat untuk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan
Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib
telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud atau Count Rainald de
Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di
dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin,
segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yang dipimpin oleh
Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ini masih
gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini terkenal dengan nama
Battle of Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan
senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang
mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan
pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan
ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan
sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan
satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang
saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan
prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara
perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald
berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan
mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan
melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah terjadi. Sultan sangat
marah terhadap pengkhiatan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke
Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban.
Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum
salib yang sering mengkhianati janji itu dengan mengepung kota Tiberias. Maka
terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal
dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja
Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ini Tentara
Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak sanggup menahan serbuan
pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib
hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya
menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yang
tertawan diperlakukan dengan sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan
Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu
gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan
secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara
Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua
pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang telah menawan saudara
perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke
hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yang telah
begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang
Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de
Lusignan pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina
sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ini
berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib
semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga
panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota
lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa,
Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak
reputasi Salahuddin yang makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah
pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW
diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya ke langit,
Salahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ini
membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan
makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang
yang selamat dalam Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang
dari 60.000 orang yang terdiri dari Kesatria Templa
4. 4. “Ketika mereka juga berpaling, Allah
alihkan amanah itu pada bekas-bekas budak dari Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz, Baybars, Qalawun
di antaranya. Mereka, orang-orang Mamluk.”
5. 5. “Ketika para Mamalik ini berpaling,
Allah pula memindahkan amanah itu pada Bangsa Turki; ‘Utsman Orthughrul & anak turunnya, serta khususnya
Muhammad Al Fatih.”
6. 6. “Ketika Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah
ini berpaling juga, Allah cabut amanah itu dan rasa-rasanya, hingga hari ini,
Allah belum menunjuk bangsa lain lagi untuk memimpin penjayaan Islam ini.”
Beliau menghela nafas panjang, kemudian tersenyum.
Dengan matanya yang buta oleh siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada
kami lalu berkata. “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam,
bangsa kalianlah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek”,
katanya sedikit tertawa, “Yang belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin
penzhahiran agamanya ini.”
7. 7. “Dan bukankah Rasulullah bersabda
bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para ‘Ulama
mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu
dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah. Tapi kini kita tahu;
dunia Islam ini membentang dari Maghrib; dari Maroko, sampai Merauke”, ujar
beliau terkekeh.
“Maka sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh
Rasulullah itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim
Nusantara. Hari ini, tugas kalian adalah menggenapi syarat-syarat agar
layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam.”
“Ah, aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali
kami, para pejuang Palestina masih harus bersabar sejenak berjuang di garis
depan. Bersabar menanti kalian layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang.
Bersabar hingga kita bersama shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka inshaallah.”
. Kebangkitan
Islam akhir zaman akan bermula dari Timur
Sabda
Rasulullah SAW, maksudnya:
Dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata: “Ketika kami
berada di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datang sekumpulan anak muda dari
kalangan Bani Hasyim. Apabila terpandang akan mereka, maka kedua mata
Rasulullah SAW berlinang air mata dan wajah baginda berubah. Aku pun bertanya,
“Mengapa kami melihat pada wajahmu sesuatu yang tidak kami sukai?”
Baginda menjawab, “Kami Ahlul Bait telah Allah pilih
untuk kami Akhirat lebih dari dunia. Kaum kerabatku akan menerima bencana dan
penyingkiran selepasku kelak sehinggalah datang suatu kaum dari sebelah Timur
dengan membawa bersama-sama mereka panji-panji berwarna hitam. Mereka meminta kebaikan
tetapi tidak diberikannya. Maka mereka pun berjuang dan beroleh kejayaan lalu
diberikanlah apa yang mereka minta itu tetapi mereka tidak menerima sehinggalah
mereka menyerahkannya kepada seorang lelaki dari kaum kerabatku yang memenuhi
bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi dengan kedurjanaan. Siapa di
antara kamu yang sempat menemuinya maka datangilah mereka walaupun merangkak di
atas salji. Sesungguhnya dia adalah Al Mahdi. (Riwayat
Ibnu Majah) (Lihat kitab Al Hawi lil Fatawa, m.s. 71-72)
Bersambung....